
Made Mangku Pastika (MMP) dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1951, hari Jumat Kliwon Wuku Kelau,di bawah pengaruh bintang cancer dan Betara Sedana. Dilahirkan oleh seorang Ibu bernama Ni Nyoman Kinten dan ayah yang bernama I Ketut Meneng,seorang guru sekolah rakyat di Desa Musi,Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Ibunya adalah Penggerak Wanita Buleleng Barat, sedangkan Ketut Meneng adalah seorang pejuang yang memulai perjuangannya di desa Sangket, Kecamatan Sukasada. Alm. Ketut Meneng berasal dari Desa Patemon, Kecamatan Seririt, sedangkan Ni Nyoman Kinten berasal dari Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt. Keduanya bertemu di Sanggalangit karena merupakan rekan seperjuangan dalam menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia.MMP adalah putra kedua dari 6 (enam) bersaudara. Ia menikah pada tahun 1977 dengan Made Ayu Putri, putri dari Bapak Wayan Gumpluk (alm), seorang perwira polri dari Desa Bedulu, Gianyar. Mereka bertemu di Jakarta dan dikaruniai 3 (tiga) orang anak,yang semuanya tingal di bali.Pada tahun 1963 (pasca meletusnya gunung agung), keluarga I Ketut Meneng , termasuk MMP pindah ke bengkulu, bertransmigrasi bersama-sama korban bencana Gunung Agung. Ketut Meneng sebagai guru SR secara sukarela ingin mengabdikan dirinya mendidik anak-anak transmigran, dan rela meninggalkan kehidupan yang cukup nyaman di Bali sebagai seorang guru (pada saat itu Ketut Meneng memang sudah menjadi seorang wakil penilik sekolah Dasar di Seririt).
Perpindahan keluarga ini ke Sumatra telah mengubah arah hidup mereka selanjutnya. Seluruh anggota keluarga telah ditempa dengan keras dalam persaingan di rantauan orang. Setapak demi setapak maju dari titik minus menuju kehidupan sebagai manusia yang bermanfaat dan bermartabat. MMP sendiri pernah menjadi pembantu rumah tangga pada keluarga Tionghoa di Bengkulu selama 3 tahun.Pengalaman menjadi pembantu rumah tangga bagi seorang anak yang berumur 12 tahun, jauh dari kedua orang tua di daerah yang sangat asing dengan budaya yang sangat berbeda, telah membentuk karakter MMP yang meyakini kerja keras dan disiplin untuk mencapai sukses, namun terkadang emosional dan sentimentil.Setelah menamatkan pendidikan di SMA negeri II Palembang, MMP mencoba melamar menjadi AKABRI kepolisian mengikuti jejak langkah langkah teman-teman sekolahnya, meskipun cita-cita awalnya ingin menjadi seorang guru seperti ayahnya. Mendengar bahwa pendidikan di AKABRI adalah gratis dan bahkan akan mendapat uang saku,MMP sebagai seorang remaja yang sangat prihatin dan sederhana serta terbatas kemampuan ekonominya, berpikir dragmatis: yang penting dapat bersekolah secara gratis.Setelah melalui berbagai tes ,ujian dan seleksi yang sangat ketat,akhirnya MMP diterima sebagai calon Taruna AKABRI Polisi dan selanjutnya menjalani pendidikan selama 4(empat) tahun di Magelang dan Sukabumi. MMP menamatkan AKABRI Polisi pada tahun 1974 dan melanjutkan latihan Brimob/Pelopor di Kelapa Dua,Bogor sampai pertengahan tahun 1975. Penugasan pertama sebagai Perwira Polisi adalah sebagai Komandan Peleton 1 Kompi I,Batalyon B, Brimob Polda Metro Jaya yang berkedudukan di kelapa dua, Bogor. Beberapa bulan kemudian, yaitu pada tanggal 05 Desember 1975,MMP beserta batalyonnya bertugas ke Timor Portugis (pada waktu itu belum namanya Timor-Timur). MMP bertugas di Timor Portugis sampai juli 1976, sesaat sebelum berintegrasinya Timor Portugis dengan Republik Indonesia dan menjadi Propinsi ke-27 dengan nama propinsi Timor-Timur. MMP tidak pernah menginjakan kakinya lagi di Timor-Timur sampai tanggal 1 Juni 1999, ketika kemudian MMP kembali bertugas disana sebagai Komandan Kontingen Lorosae, BKO Polda Timor-Timur, sekaligus sebagai Chief Liaison Officer antar Polri dengat UNAMENT.MMP berada di Timor-Timur sampai tanggal 30 Oktober 1999 yaitu ketika Kontinggen RI berakhir meninggalkan Tim-Tim karena pada saat itu di serahkan ke PBB. Pada hari itu juga sang merah putih diturunkan dari markas komando pasukan ABRI terakhir dalam seatu upacara yang sangat mengharukan .MMP sendiri meneteskan air mata sedih dan marah,menyaksikan terlepasnya bagian RI yang telah menyatu dengan ibu pertiwi dalam suka maupun duka selama 23 tahun. Sebuah pelajaran yang sangat berharga harus dipetik dari peristiwa ini oleh bangsa indonesia dan para pemimpinnya. MMP sendiri marasa mendapat pengalaman yang sangat berharga, baik dalam kapasitas pribadi maupun sebagai anggota Polri/ABRI.Sekembalinya dari Tim-Port,MMP kembali bertugas di Kesatuan Brimob di Jakarta. Pada tanggal 23 februari 1977, MMP menikah dengan Ni Made Ayu Putri,adik dari brigjen pol.Made Swardana(rekan satu angkatan MMP di AKABRI pol dan ipar dari brigjen pol. Wayan medhana dari Desa kedis kecamatan . busungbiu,Buleleng). Pada oktober1977, MMP mendapat tugas baru sebagai ajudan menteri Pertahanan & Keamanan/Panglima ABRI,Jendral TNI Maraden pengabean,selama 4 (empat) tahun termasuk ketika beliau pada tahun1978 menjadi Menko Polhukam RI.Sebagai seorang perwira ABRI,MMP belajar banyak hal dari penugasan ini , mulai dari hal-hal yang menyangkut persoalan militer dan polri, sampai ke persoalan-persoalan politik nasional dan global, mulai dari persoalan-persoalan taktis sampai persoalan-persoalan strategis,termasuk hubungan antar bangsa dan politik luar negeri.Pada kesempatan penugasan ini,MMP juga belajar mengenal dan mengahayati moral danetika pergaulan di tengah-tengah keluarga yang bersifat etnis primordial, sampai kepada tata cara pergaulan diplomatis bertaraf internasional dengan tetap berpegang teguh pada jadi diri bangsa yang bermartabat,tanpa harus minder dan rendah diri.Penugasan ini berakhir ketika MMP harus melatjutkan pendidikan ke PTIK untuk dapat meniti karir selanjutnya pada \ polri.MMP menyelesaikan pendidikan di PTIK pada tahun 1984 dengan predikat lulusan terbaik dan selanjutnya bertugas di Polda metro jaya sebagai kepala sub. Dinas pencurian berat,Direktorat Reserse. Tugas pokoknya adalah menangani kasus-kasus pencurian,perampokan,dan kejahatan keras lainnya. Satuannya terkenal dengan nama TEKAB (Tim Khusus Anti Bandit) yang bertugas siang malam di seantero jakarta dan sekitarnya, melumpuhkan kelompok-kelompok penjahat kelas berat yang sering mengacaukan jakarta raya.penugasan berikutnya adalah sebagai kepala unit harat benda ditserse PMJ dan selanjutnya kapolsek tambora jakarta barat sampai akhir 1987, dan pindah ke ditserse mabes polri sebagai satuan penyidik Vice Control.pada tahun 1988, MMP ditugaskan untuk mengabil bagian pada misi pemeliharaan perdamain PBB di Namibia, Afrika barat daya, sebagai anggota kontigen garuda IX selama 9 (sembilan) bulan.MMP bertugas di distrik Windhoek (ibukota Namibia) sebagai Commander untuk wilayah katutura dan komasdal.Wilayah ini adalah wilayah yang senantiasa bergolak, karena merupakan basis kekuatan pro-independen dan kediaman para pemimpin kulit hitam,termasuk calon Presiden Namibia,sam Nujona. Penugasan di Namibia ini kembali memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi MMP karena mendapat kesempatan untuk bergaul dan memimpin para polisi dari berbagai bangsa dan negara,dengan berbagai karakter, kebiasaan dan tingkat profesional yang sangat bervariasi. Sekembalinya dari Namibia MMP mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ABRI lanjutan di SESKOAD (sekolah staf dan komando Angkatan darat) di bandung pada 1990-1991 selama 11 bulan. Kembali MMP mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang unik, karena sebagai perwira polri seharusnya melanjutkan pendidikan SESPIMPOL, bukan di SESKOAD.MMP segera mengambil manfaat dari kekhususan ini, dengan memahami ilmunya tentara dan menggalang persahabatan dengan para perwira siswa TNI-AD. Selesae pendidikan di SESKOAD MMP bertugas di ujung pandang (sekarang makassar) sebagai kepala bagian reserse Ekonomi , polda sulawesi selatan dan sulawesi tenggara kurang lebih 8 (delapan) bulan. Selanjutnya, pada akhir 1992 MMP kembali bertugas di Mabes Polri sebagai kepala Satuan penyidik perbankan. Pada tahun itu pula MMP mendapat kesempatan untuk melaksanakan pelatihan di Cranfild Inggris tentang Counter Disaster, yang kemudian ternyata sangat berguna dalam me-manage berbagai krisis atau "Disaster" pada penugasannya selanjutnya. Pada pertengahan 1993 MMP kembali mendapat kesempatan belajar ke luar negeri yaitu ke Australia di AFP College, Camberra dengan pokok bahasan Management of Serious Crime, Bersama-sama dangan para perwira senior AFP (Australia Federal Police) , antara lain Mick Keetly yang sekarang menjabat sebagai Commisioner AFP. Hubungan baik dengan para perwira AFP ini ditambah dengan ilmu penyidikan kasus-kasus besar dan serius yang di pelajari di AFP Management College telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengungkapan dan penyidikan kasus bom Bali dan kasus-kasus terorisme yang lain.Jabatan selanjutnya adalah Kapolres Jakarta Barat (1994-1995). Wakil Asisten perencanaan & Anggaran kapolda metro jaya (1996) yang diteruskan dengan menjalani pendidikan di SESKO ABRI (1996-1997). Pada akhir pendidikan ini kembali MMP mendapat penghargaan terbaik dibidang penulisan TASKAP, bersama dengan Mayjen Supiadin (Mantan pangdam IX/Udayana ) sebagai lulusan terbaik dibidang Militer. Tugas MMP berikutnya adalah Kepala Departemen Kerjasama Internasional di NCB/ Interpol (1997) dan Direktur Reserse Ekonomi , korserse Polri (1997-1999). Penugasan ini diselingi dengan tugas BKO polda tim-tim (juni 1999-oktober 1999). Jabatan berikutnya adalah Direktur Reserse Pidana Tertentu dengan pangkat Brigadir jenderal Polisi dan dilanjutkan sebagai Sekretaris NCB/interpol. Penugasan MMP berikutnya yang cukup berkesan adalah kapolda Nusa Tenggara Timur pasca kerusuhan di Atambua. Problema para pengungsi tim-tim yang memuncak dengan adanya Resolusi Dewan keamanan PBB tentang keamanan di NTT. Kapolri menugaskan MMP untuk dapat menyelesaikan kasus Atambua yang menewaskan 3(tiga) petugas UNHCR, pelucutan senjata para Milisi eks. Tim-tim, dan pengrusakan gedung DPRD NTT ) dalam waktu yang sesingkat se singkatnya, karena Indonesia mendapat tekanan internasional terutama dengan keluarnya resolusi DK PBB. Syukur kepada Tuhan YME, dengan kerja keras dan dukungan segenap aparat Pemerintah baik sipil, maupun militer dan partisipasi masyarakat serta kinerja yang profesional, sungguh-sungguh, sabar dan iklas, semua tugas berat tersebut terselesaikan dengan baik.DK PBB merasa puas resolusi pun dicabut. Situasi keamanan berangsur-angsur pulih kembali dan kehidupan masyarakat kembali normal. Setelah bertugas kurang lebih 4 (empat) bulan sebagai kapolda NTT, kembali terjadi masalah keamanan di irianjaya (sekarang papua ). Seluruh Muspida Propinsi (kecuali Gubernur jaap salosa) tewas dalam suatu kecelakaan pasawat terbang, termasuk Pangdam dan Kapolda Irja (Alm. Irjen Pol. FX. Sumrdi). Sementara itu terjadi penyandraan tarhadap karyawan PT Korindo(ada beberapa orang korea) oleh kelompok OPM di bawah pimpinan Willem Onde di Wilayah Merauke, Irja.Kapolri kembali menugaskan MMP menuju Irja untuk menjabat sebagai Kapolda Irja dengan tugas pertama membebaskan para sandera, bekerja sama dengan Pangdam Trikora Mayjen Mahidin Simbolon(pernah mejabat sebagai Kasdam IX /Udayana, teman seangkatan MMP di AKABRI dan SESKOAD). Dalam waktu singkat para sandera dapat dibebaskan dalam keadaan selamat. Wilayah Irja/papua yang merupakan daerah konflik dan isu separatisme memerlukan gaya kepemimpinan kepolisian yang khas, terlebih ketika ketua Presidium Dewan papua Theys Eluway tewas terbunuh pada 10 November 2001.Persoalan lain adalah gejolak sosial dan politik sebagai ekses demokratisasi dalam era reformasi, seperti isu nama Papua dan bendera bintang kejora,pelanggaran HAM, dan pengurasakan lingkungan hidup, penentangan atas isu Otsus Papua, sampai kepada peristiwa penyerangan terhadap PT Freeport yang mengakibatkan tewasnya 2 (dua) warga Amerika dan 1 (satu) WNI.Saat menyidik kasus terakhir inilah, terjadi peristiwa besar Bom Bali ( 12 Oktober 2002).Tanggal 12 Oktober 2002 adalah momen yang telah mengubah awal hidup seorang MMP. Peristiwa tersebut telah membuatnya shock/sedih, kecewa, marah dan akhirnya sadar , bahwa Bali telah berubah. Daerah yang tadinya terkenal aman, tentram,damai,dan bersabat telah berubah menjadi daerah yang membuat takut dan khawatir untuk mengunjunginya. Saat itu MMP sedang berada di Timika, Papua dalam rangka memimpin penyidikan kasus Freeport yang baru setengahnya selesai. MMP menduga bahwa akan tetap ditugas di Papua dan tidak pernah menduga akan terlibat dalam pengungkan dan penyidikan kasus Bom Bali. Tetapi ternyata pertimbangan kapolri (Jendral Pol. Drs. Dai Bachtiar) berbeda, MMP di tugas untuk segera berangkat ke bali, memimpin penyidikan kasus besar dan menarik perhatian dunia tersebut. MMP tiba di bali pada tanggal 17 Oktober 2002 malam dan langsung ke TKP di jalan legian kuta bali. Beliau menerima briefing dari kapolda bali, Brigjen. Drs. Budi Setiawan, dan para perwira lain yang telah memulai penyelidikan dan penyidikan sejak tanggal 12 Oktober 2002 dengan meletakan dasar tindakan kepolsian yang cermat dan profesional.Selanjutnya sesuai dengan penugasan yang di berikan dan diarahkan oleh Kapolri, mmp bersama tim yang di bentuknya (terdiri dari anggota polri dan seluruh indonesia yang berjumlah kurang lebih 500 orang dan 200 polisi/ahli dari mancanegara seperti: Australia, Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Jepang, Selandia baru, melaksanakan penyelidikan dan penyidikan secara profesional sesuai dengan kaidah-kaidah Scientific crime Ivestigation yang trasparan dan akuntabel, sesuai dengan aturan hukum dan menjujung tinggi HAM.Sebagai seorang putra Bali yang beragama hindu,MMP senantiasa berusaha sekuat tenaga bertindak, berdasarkan darma dan kesucian, kesungguhan, kesabaran,dan keikhlasan, seraya memohon pakeling dan waranugraha Sang Hyang Widhi Wasa, Hyang yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa. Oleh karena itu pula, di tengah-tengah kesibukan dalam memimpin penyelidikan secara sekala (fisik,material,ilmiah,profesional) MMP juga melakukan kegiatan-kegiatan dalam konteks niskala (spiritual) dengan kepercayaan penuh bahwa Tuhan akan selalu memenangkan kebenaran atas kebatilan/kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar