APA PERANAN PEREMPUAN BALI ?
Bung Karno dalam bukunya "Dibawah Bendera Revolusi" berkata, "Kalau saya disuruh memilih salah satu dari anak perempuan dan laki-laki yang saya miliki karena hanya mempunyai uang cukup untuk menyekolahkan satu orang anak saja, maka saya akan memilih menyekolahkan anak perempuan saya. Karena di tangan perempuanlah terletak masa depan suatu bangsa".
Penyadaran kepada perempuan Bali melalui pendidikan agar mempunyai wawasan yang luas akan lebih meningkatkan kemampuan orang Bali secara keseluruhan baik dalam menjaga identitas budaya maupun dalam melahirkan generasi baru. Keharmonisan dan kemajuan keluarga terletak di tangan perempuan. Belakangan ini, perempuan Bali memang sudah mencoba menempatkan diri, berjuang mendapatkan emansipasi dengan baik. Dalam pendidikan, perempuan-perempuan Bali sudah setara dengan laki-laki bahkan sudah banyak yang memperoleh gelar profesor, mendapatkan pendidikan S1 maupun S2, namun dalam perannya di dalam pembangunan hanya segelintir orang yang mau terjun. Demikian pula dalam hal karier, perempuan Bali hanya mencapai tingkat menengah ke bawah, hanya sebagian kecil saja yang mampu mengambil kedudukan di tingkat eksekutif.
Di lain pihak, perempuan Bali ingin melupakan pekerjaan di rumah tangganya, karena menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga hanyalah pekerjaan sambilan saja. Yang dianggap mempunyai pekerjaan kalau bisa menghasilkan uang, sehingga pekerjaan utama adalah mampu meniti karier. Kalau sudah demikian, berarti perempuan Bali sudah mulai berpikir egois, hanya memikirkan dirinya saja, lupa bahwa dia masih punya anak dan keluarga. Kalau merasa bahwa di tangan perempuan sebenarnya terletak harapan bangsa, harapan kita bisakah perempuan Bali tetap berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dalam rumah tangga, di samping dirinya juga sebagai perempuan di dalam meniti karier? Sebagai seorang ibu, jangan hanya bisa melahirkan anak saja. Kalau memang tak ada waktu dan tak senang memelihara anak, cobalah jangan punya anak. Anak tak hanya untuk dilahirkan, tetapi mempunyai anak adalah untuk dibina dan dididik menjadi orang yang lebih berguna di masyarakat.
Belakangan ini kelihatannya peran perempuan-perempuan Bali mulai bergeser, lebih mementingkan karier, lupa pada fungsinya sebagai seorang ibu. Di samping itu, seorang istri sering berpikir, "Laki-laki bisa, kenapa saya tidak bisa?" Sehingga dalam perselingkuhan pun perempuan Bali mulai berpikir, "Kalau suami saya bisa, kenapa saya tidak bisa". Dalam hal ini perempuan diharapkan sadar dalam berkompetisi dengan laki-laki dengan membina suami agar jangan sampai mencari perempuan lain. Bagaimana suami bisa kembali berpikir bahwa istrinya adalah yang terbaik di dalam hidupnya.
Bung Karno dalam bukunya "Dibawah Bendera Revolusi" berkata, "Kalau saya disuruh memilih salah satu dari anak perempuan dan laki-laki yang saya miliki karena hanya mempunyai uang cukup untuk menyekolahkan satu orang anak saja, maka saya akan memilih menyekolahkan anak perempuan saya. Karena di tangan perempuanlah terletak masa depan suatu bangsa".
Penyadaran kepada perempuan Bali melalui pendidikan agar mempunyai wawasan yang luas akan lebih meningkatkan kemampuan orang Bali secara keseluruhan baik dalam menjaga identitas budaya maupun dalam melahirkan generasi baru. Keharmonisan dan kemajuan keluarga terletak di tangan perempuan. Belakangan ini, perempuan Bali memang sudah mencoba menempatkan diri, berjuang mendapatkan emansipasi dengan baik. Dalam pendidikan, perempuan-perempuan Bali sudah setara dengan laki-laki bahkan sudah banyak yang memperoleh gelar profesor, mendapatkan pendidikan S1 maupun S2, namun dalam perannya di dalam pembangunan hanya segelintir orang yang mau terjun. Demikian pula dalam hal karier, perempuan Bali hanya mencapai tingkat menengah ke bawah, hanya sebagian kecil saja yang mampu mengambil kedudukan di tingkat eksekutif.
Di lain pihak, perempuan Bali ingin melupakan pekerjaan di rumah tangganya, karena menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga hanyalah pekerjaan sambilan saja. Yang dianggap mempunyai pekerjaan kalau bisa menghasilkan uang, sehingga pekerjaan utama adalah mampu meniti karier. Kalau sudah demikian, berarti perempuan Bali sudah mulai berpikir egois, hanya memikirkan dirinya saja, lupa bahwa dia masih punya anak dan keluarga. Kalau merasa bahwa di tangan perempuan sebenarnya terletak harapan bangsa, harapan kita bisakah perempuan Bali tetap berperan sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri dalam rumah tangga, di samping dirinya juga sebagai perempuan di dalam meniti karier? Sebagai seorang ibu, jangan hanya bisa melahirkan anak saja. Kalau memang tak ada waktu dan tak senang memelihara anak, cobalah jangan punya anak. Anak tak hanya untuk dilahirkan, tetapi mempunyai anak adalah untuk dibina dan dididik menjadi orang yang lebih berguna di masyarakat.
Belakangan ini kelihatannya peran perempuan-perempuan Bali mulai bergeser, lebih mementingkan karier, lupa pada fungsinya sebagai seorang ibu. Di samping itu, seorang istri sering berpikir, "Laki-laki bisa, kenapa saya tidak bisa?" Sehingga dalam perselingkuhan pun perempuan Bali mulai berpikir, "Kalau suami saya bisa, kenapa saya tidak bisa". Dalam hal ini perempuan diharapkan sadar dalam berkompetisi dengan laki-laki dengan membina suami agar jangan sampai mencari perempuan lain. Bagaimana suami bisa kembali berpikir bahwa istrinya adalah yang terbaik di dalam hidupnya.
Memang selama ini perempuan selalu diletakkan sebagai perempuan lemah, sebagai perempuan kelas dua, tetapi kalau kami terus memikirkan itu, kemudian berontak, dan terus berusaha untuk mendapatkan tempat, maka akhirnya perempuan Bali akan kehabisan tenaga untuk memperjuangkan hal tersebut. Saya justru menganjurkan kepada perempuan, berhenti menyebut diri kelas dua, kelas pinggiran, mari kita berbuat. Buatlah sesuatu yang bisa memberikan pandangan bahwa perempuan tidak seperti yang mereka duga. Kalau kita sudah memperlihatkan diri dalam pendidikan, dalam peranan di rumah tangga, maupun dalam aktivitas di masyarakat, maka secara otomatis orang laki-laki tidak akan berpikir dia itu seorang perempuan, tetapi dia itu adalah orang yang mampu.
Janganlah perempuan terus memperbincangkan tentang peranan yang tak seimbang. Berbuatlah, tunjukkan pada masyarakat bahwa inilah perempuan dan nanti tanpa sadar laki-laki akan menganggap perempuan dan laki-laki adalah sama, cuma fungsi yang berbeda tergantung kesenangan perempuan memilih peranan itu dan mempergunakan kesempatan yang ada.
Masyarakat Bali tidak pernah menempatkan perempuan sebagai perempuan lemah. Tidak ada orang tua yang mengajarkan anak laki-lakinya, "Tolong bantu adikmu yang perempuan yang lebih lemah darimu". Justru masyarakat Bali mendidik anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan, sama saja. Orang tua lebih menekankan pendidikan di rumah pada anak perempuannya karena ia akan meninggalkan keluarganya mengikuti keluarga suami. Anak perempuan diberikan pendidikan lebih keras dengan harapan ia akan membawa nama keluarga. Jangan sampai memalukan keluarga. Jangan sampai kehadirannya dicemoohkan, dikatakan dari keluarga yang bisanya hanya menadahkan tangan saja, tidak bisa bekerja membantu keluarga. Bisa dilihat dalam aktivitas sehari-hari, di rumah perempuan memasak, semua diatur oleh perempuan, tetapi di dalam upacara besar, yang memasak bukan perempuan justru laki-laki.
Kemudian kita melihat bagaimana masyarakat Bali memandang para Dewa dan Dewi itu, semua mendapatkan penghargaan sama dari penganutnya. Tidak ada yang memandang Dewi Saraswati lebih rendah dari suaminya Dewa Brahma. Semuanya dihormati sama tergantung dari posisi dan kemampuannya. Jadi di masyarakat Bali tidak ada perbedaan dalam peranan antara perempuan dan laki-laki, yang berbeda hanyalah fungsinya.
Perempuan menjalankan kodratnya, perempuan tentu akan hamil. Kalau ingin melahirkan anak-anak yang berkualitas, bisakah perempuan-perempuan itu merencanakan kalau ingin punya seorang anak, berapa mau punya anak. Kemudian dalam perencanaan itu bisakah mempersiapkan diri karena selama bayi dalam kandungan, seorang ibu sudah mulai menanamkan dasar kepribadian untuk anaknya. Dalam hal ini, perempuan maupun laki-laki dapat mempersiapkan diri dalam keadaan tenang. Tidak membawa karma masa lampaunya sehingga di dalam melahirkan anak, tidak lagi berada dalam keadaan tegang, cemas ataupun bingung. Dan setelah merasa diri siap, barulah punya anak.
Seandainya janin sudah terbentuk, maka yang perlu dipersiapkan adalah bisakah ibu berada dalam keadaan tenang. Suaminya pun harus men-support, memberikan kasih sayang, cinta kasih, rasa aman pada janin dalam kandungan. Dalam hal ini, laki-laki maupun perempuan dapat melakukan meditasi, dekat dengan Tuhan, sehingga situasi spiritual tetap mempengaruhi janin dalam kandungan. Seandainya seorang ibu saat hamil sering marah, maka dasar kepribadian yang ditanamkan pada anak adalah marah. Kalau seorang ibu tetap merasa bertanggungjawab pada anak, berusahalah tetap mempertahankan emosi dalam keadaan tenang, dekat dengan Tuhan, banyak belajar, kalau ingin melahirkan anak yang berkualitas.
Di samping emosi yang kita bina, juga perlu disadari bahwa pembentukan otak jantan dan otak betina pada janin sangat erat hubungannya dengan aktivitas ibunya selama mengandung. Kalau saat mengandung seorang ibu suka belajar, selalu merasa ingin tahu, selalu ingin mencoba dan berada dalam keadaan tenang, maka akan terbentuk pada janin otak jantan, yang akan menghasilkan orang yang selalu ingin tahu, ingin mencoba, ingin bersaing dan hidupnya adalah untuk bekerja. Sedangkan kalau janin mempunyai otak betina, maka kalau ia sudah besar di dalam dirinya ingin selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain, tergantung orang lain dan ingin hidup secara rutin tanpa membuat sesuatu perubahan. Mampukah seorang ibu melahirkan anak yang mempunyai otak jantan dan betina seimbang, sehingga kehidupan anak ini harmonis, senang menemukan hal baru, hidup untuk kerja, tetapi juga mementingkan hubungan baik dengan orang lain?
Kemudian kita melihat bagaimana masyarakat Bali memandang para Dewa dan Dewi itu, semua mendapatkan penghargaan sama dari penganutnya. Tidak ada yang memandang Dewi Saraswati lebih rendah dari suaminya Dewa Brahma. Semuanya dihormati sama tergantung dari posisi dan kemampuannya. Jadi di masyarakat Bali tidak ada perbedaan dalam peranan antara perempuan dan laki-laki, yang berbeda hanyalah fungsinya.
Perempuan menjalankan kodratnya, perempuan tentu akan hamil. Kalau ingin melahirkan anak-anak yang berkualitas, bisakah perempuan-perempuan itu merencanakan kalau ingin punya seorang anak, berapa mau punya anak. Kemudian dalam perencanaan itu bisakah mempersiapkan diri karena selama bayi dalam kandungan, seorang ibu sudah mulai menanamkan dasar kepribadian untuk anaknya. Dalam hal ini, perempuan maupun laki-laki dapat mempersiapkan diri dalam keadaan tenang. Tidak membawa karma masa lampaunya sehingga di dalam melahirkan anak, tidak lagi berada dalam keadaan tegang, cemas ataupun bingung. Dan setelah merasa diri siap, barulah punya anak.
Seandainya janin sudah terbentuk, maka yang perlu dipersiapkan adalah bisakah ibu berada dalam keadaan tenang. Suaminya pun harus men-support, memberikan kasih sayang, cinta kasih, rasa aman pada janin dalam kandungan. Dalam hal ini, laki-laki maupun perempuan dapat melakukan meditasi, dekat dengan Tuhan, sehingga situasi spiritual tetap mempengaruhi janin dalam kandungan. Seandainya seorang ibu saat hamil sering marah, maka dasar kepribadian yang ditanamkan pada anak adalah marah. Kalau seorang ibu tetap merasa bertanggungjawab pada anak, berusahalah tetap mempertahankan emosi dalam keadaan tenang, dekat dengan Tuhan, banyak belajar, kalau ingin melahirkan anak yang berkualitas.
Di samping emosi yang kita bina, juga perlu disadari bahwa pembentukan otak jantan dan otak betina pada janin sangat erat hubungannya dengan aktivitas ibunya selama mengandung. Kalau saat mengandung seorang ibu suka belajar, selalu merasa ingin tahu, selalu ingin mencoba dan berada dalam keadaan tenang, maka akan terbentuk pada janin otak jantan, yang akan menghasilkan orang yang selalu ingin tahu, ingin mencoba, ingin bersaing dan hidupnya adalah untuk bekerja. Sedangkan kalau janin mempunyai otak betina, maka kalau ia sudah besar di dalam dirinya ingin selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain, tergantung orang lain dan ingin hidup secara rutin tanpa membuat sesuatu perubahan. Mampukah seorang ibu melahirkan anak yang mempunyai otak jantan dan betina seimbang, sehingga kehidupan anak ini harmonis, senang menemukan hal baru, hidup untuk kerja, tetapi juga mementingkan hubungan baik dengan orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar