BONDRES BARONG LANDUNG
APAKAH pada hari raya Galungan yang lalu ada Barong Landung yang ngelawang di daerah Anda ? Atau ada rencana Barong Landung itu akan ngelawang di hari Kuningan nanti ? Barangkali sebagian besar masyarakat Bali tidak menemukan ada Barong Landung yang berkeliling di desa-desa. Bahkan, banyak anak muda di Bali saat ini yang tidak tahu keberadaan Barong Landung. Memang Barong Landung termasuk kesenian langka, lagi pula sakral.
Dulu, Barong Landung ngelawang (berkeliling) ke desa-desa. Desa yang tidak mempunyai Barong Landung jadi tahu wujud barong itu. Tujuan ngelawang adalah mengusir wabah penyakit. Kini, zaman sudah berubah. Penyakit tidak lagi datang dari ''manusia sakti''(kurang kerjaan membikin orang lain sakit), penyakit datang dari hewan, misalnya, nyamuk demam berdarah. Pun yang ngelawang sekarang ini adalah mobil Puskesmas Keliling.
Barong Landung sesuai dengan namanya adalah barong yang jangkung (landung dalam bahasa Bali). Untuk lebih mudahnya diingat, Barong Landung mirip ondel-ondel di Jakarta. Penari hanya seorang diri, mengusung barong jangkung itu dan ia melihat ke luar dari perut barong yang diberi lubang. Wajah barong tidak seperti Barong Ket yang lebih menyerupai hewan. Wajah Barong Landung mirip manusia. Ada sepasang lelaki dan perempuan. Barong Landung laki-laki biasa disebut Jero Gede, berwajah hitam. Sedangkan Barong Landung perempuan yang biasa disebut Jero Luh, berwajah putih. Warna-warna ini adalah simbol. Begitu pula perwajahan itu adalah simbol. Simbol apa? Tergantung legenda apa yang melekat pada Barong Landung tersebut. Nah, di sinilah uniknya Barong Landung, tidak punya keseragaman legenda, sehingga agak sulit untuk mengusut kapan sebenarnya kesenian sakral itu lahir dan untuk simbol apa dilahirkan.
Barong Landung di Kabupaten Klungkung umumnya mengambil simbol Ratu Gede Mecaling yang berstana di Nusa Penida. Alkisah, tersebutlah di suatu masa, wabah penyakit melanda desa-desa di Bali. Ini tak lain dari ulah anak buah Ratu Gede Mecaling yang tanpa restu dari Sang Raja Nusa ini. Para pendeta di Bali berkumpul, bagaimana mengusir wabah. Lalu dibuatlah patung yang tinggi besar, berwajah hitam dan bertaring, simbol dari Jero Gede Mecaling atau Ratu Mecaling. Patung ini kemudian diarak ke berbagai desa (ngelawang), sehingga makhluk halus anak-buah Ratu Gede Mecaling itu ketakutan karena mengira rajanya yang datang. Maka sirnalah penyakit itu dan masyarakat menjadi tenteram. Untuk penghormatan kepada patung tiruan Jero Gede Mecaling itu dibuat kemudian pasangannya, berwajah putih, lalu disebut Jero Luh. Nah, kedua Barong Landung ini selalu diarak berkeliling desa jika ada wabah penyakit.
Barong Landung di Bangli lain lagi legendanya. Kisahnya diambil dari hikayat Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa. Kerajaannya berpusat di Panarojan, sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni mengawini putri Cina yang bernama Kang Cing Wei. Raja Jaya Pangus tetap ngotot kawin meski tak direstui pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam.
Jaya Pangus tetap melawan. Kerajaan dipindahkan ke tempat lain. Nama itu disebut Balingkang (dari kata Bali ditambah Kang, nama depan istrinya), dan rakyat menyebut rajanya dengan Dalem Balingkang. Sayangnya, pasangan ini tidak mempunyai keturunan. Dalem Balingkang kemudian memohon kepada dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Batur agar dikaruniai anak. Tapi bukan anak yang didapat, Dalem Balingkang justru terpicut dengan kemolekan seorang putri yang dijuluki Dewi Danu. Dalem pun terpikat, lalu kawin diam-diam tanpa sepengetahuan Putri Kang.
Sementara itu, Kang Cing Wei tentu saja gelisah ditinggal suaminya berlama-lama. Ia pun menyusul ke Gunung Batur. Di tengah hutan belantara yang hebat, Putri Kang terkejut menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.
Dengan kekuatan gaibnya, Dewi Danu mengalahkan Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei hingga hilang ditelan bumi. Meskipun hilang tanpa bekas, rakyat tetap mencintai Dalem Balingkang dan Putri Kang, lalu dibuatkan patung sebagai simbol keduanya. Kedua patung inilah yang kemudian berkembang menjadi Barong Landung. Karena itu kalau kita perhatikan wajah Jero Luh beserta asesoris busananya, masuk budaya Cina di sini.
Bagaimana dengan Barong Landung yang ada di kabupaten lainnya? Mungkin legendanya berbeda. Di Desa Pakraman Sesetan, tepatnya di Banjar Lantang Bejuh, ada barong Landung yang amat disakralkan. Tak sembarang waktu bisa dipentaskan. Karena itu sulit untuk mengetahui bagaimana ''asal-usul'' Barong Landung ini.
Tentu mustahil untuk menjadikan Barong Landung keluar dari pakem kesakralannya. Kalaupun ada kemauan seperti itu, misalnya, meniru Barong Ket yang bisa dikomersialkan sebagai hiburan pop, gerakannya sangat terbatas. Memang, katanya ada Barong Landung yang tidak hanya sepasang, tetapi lebih dari dua, dan bisa mementaskan lakon seperti arja. Apakah generasi muda Bali tertarik dengan ''Arja Barong Landung''? Jauh rasanya, arja yang bergerak bebas saja sudah ditinggalkan penonton, apalagi arja yang bertopeng barong.
APAKAH pada hari raya Galungan yang lalu ada Barong Landung yang ngelawang di daerah Anda ? Atau ada rencana Barong Landung itu akan ngelawang di hari Kuningan nanti ? Barangkali sebagian besar masyarakat Bali tidak menemukan ada Barong Landung yang berkeliling di desa-desa. Bahkan, banyak anak muda di Bali saat ini yang tidak tahu keberadaan Barong Landung. Memang Barong Landung termasuk kesenian langka, lagi pula sakral.
Dulu, Barong Landung ngelawang (berkeliling) ke desa-desa. Desa yang tidak mempunyai Barong Landung jadi tahu wujud barong itu. Tujuan ngelawang adalah mengusir wabah penyakit. Kini, zaman sudah berubah. Penyakit tidak lagi datang dari ''manusia sakti''(kurang kerjaan membikin orang lain sakit), penyakit datang dari hewan, misalnya, nyamuk demam berdarah. Pun yang ngelawang sekarang ini adalah mobil Puskesmas Keliling.
Barong Landung sesuai dengan namanya adalah barong yang jangkung (landung dalam bahasa Bali). Untuk lebih mudahnya diingat, Barong Landung mirip ondel-ondel di Jakarta. Penari hanya seorang diri, mengusung barong jangkung itu dan ia melihat ke luar dari perut barong yang diberi lubang. Wajah barong tidak seperti Barong Ket yang lebih menyerupai hewan. Wajah Barong Landung mirip manusia. Ada sepasang lelaki dan perempuan. Barong Landung laki-laki biasa disebut Jero Gede, berwajah hitam. Sedangkan Barong Landung perempuan yang biasa disebut Jero Luh, berwajah putih. Warna-warna ini adalah simbol. Begitu pula perwajahan itu adalah simbol. Simbol apa? Tergantung legenda apa yang melekat pada Barong Landung tersebut. Nah, di sinilah uniknya Barong Landung, tidak punya keseragaman legenda, sehingga agak sulit untuk mengusut kapan sebenarnya kesenian sakral itu lahir dan untuk simbol apa dilahirkan.
Barong Landung di Kabupaten Klungkung umumnya mengambil simbol Ratu Gede Mecaling yang berstana di Nusa Penida. Alkisah, tersebutlah di suatu masa, wabah penyakit melanda desa-desa di Bali. Ini tak lain dari ulah anak buah Ratu Gede Mecaling yang tanpa restu dari Sang Raja Nusa ini. Para pendeta di Bali berkumpul, bagaimana mengusir wabah. Lalu dibuatlah patung yang tinggi besar, berwajah hitam dan bertaring, simbol dari Jero Gede Mecaling atau Ratu Mecaling. Patung ini kemudian diarak ke berbagai desa (ngelawang), sehingga makhluk halus anak-buah Ratu Gede Mecaling itu ketakutan karena mengira rajanya yang datang. Maka sirnalah penyakit itu dan masyarakat menjadi tenteram. Untuk penghormatan kepada patung tiruan Jero Gede Mecaling itu dibuat kemudian pasangannya, berwajah putih, lalu disebut Jero Luh. Nah, kedua Barong Landung ini selalu diarak berkeliling desa jika ada wabah penyakit.
Barong Landung di Bangli lain lagi legendanya. Kisahnya diambil dari hikayat Sri Jaya Pangus, raja Bali dari dinasti Warmadewa. Kerajaannya berpusat di Panarojan, sebelah utara Kintamani. Sri Jaya Pangus melanggar adat yang sangat ditabukan saat itu, yakni mengawini putri Cina yang bernama Kang Cing Wei. Raja Jaya Pangus tetap ngotot kawin meski tak direstui pendeta kerajaan, Mpu Siwa Gama. Akibatnya, sang pendeta marah, lalu menciptakan hujan terus menerus, hingga seluruh kerajaan tenggelam.
Jaya Pangus tetap melawan. Kerajaan dipindahkan ke tempat lain. Nama itu disebut Balingkang (dari kata Bali ditambah Kang, nama depan istrinya), dan rakyat menyebut rajanya dengan Dalem Balingkang. Sayangnya, pasangan ini tidak mempunyai keturunan. Dalem Balingkang kemudian memohon kepada dewa-dewa yang bersemayam di Gunung Batur agar dikaruniai anak. Tapi bukan anak yang didapat, Dalem Balingkang justru terpicut dengan kemolekan seorang putri yang dijuluki Dewi Danu. Dalem pun terpikat, lalu kawin diam-diam tanpa sepengetahuan Putri Kang.
Sementara itu, Kang Cing Wei tentu saja gelisah ditinggal suaminya berlama-lama. Ia pun menyusul ke Gunung Batur. Di tengah hutan belantara yang hebat, Putri Kang terkejut menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Ketiganya lalu terlibat pertengkaran sengit.
Dengan kekuatan gaibnya, Dewi Danu mengalahkan Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei hingga hilang ditelan bumi. Meskipun hilang tanpa bekas, rakyat tetap mencintai Dalem Balingkang dan Putri Kang, lalu dibuatkan patung sebagai simbol keduanya. Kedua patung inilah yang kemudian berkembang menjadi Barong Landung. Karena itu kalau kita perhatikan wajah Jero Luh beserta asesoris busananya, masuk budaya Cina di sini.
Bagaimana dengan Barong Landung yang ada di kabupaten lainnya? Mungkin legendanya berbeda. Di Desa Pakraman Sesetan, tepatnya di Banjar Lantang Bejuh, ada barong Landung yang amat disakralkan. Tak sembarang waktu bisa dipentaskan. Karena itu sulit untuk mengetahui bagaimana ''asal-usul'' Barong Landung ini.
Tentu mustahil untuk menjadikan Barong Landung keluar dari pakem kesakralannya. Kalaupun ada kemauan seperti itu, misalnya, meniru Barong Ket yang bisa dikomersialkan sebagai hiburan pop, gerakannya sangat terbatas. Memang, katanya ada Barong Landung yang tidak hanya sepasang, tetapi lebih dari dua, dan bisa mementaskan lakon seperti arja. Apakah generasi muda Bali tertarik dengan ''Arja Barong Landung''? Jauh rasanya, arja yang bergerak bebas saja sudah ditinggalkan penonton, apalagi arja yang bertopeng barong.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar