Minggu, 31 Agustus 2008

WANITA PENGHIBUR

DUA WANITA PENGHIBUR
Ketika segala sesuatu untuk keberangkatannya ke Parlemen Agama-Agama di Chicago pada bulan September 1893 sedang dipersiapkan, Raja Ajit Singh dari Khetri, yang merupakan murid Vivekananda, dan yang menyediakan tiket untuk keberangkatan itu meminta Vivekananda datang untuk memberkati anaknya yang baru lahir. Vivekananda setuju dan pergi ke Khetri untuk maksud tersebut.
Suatu malam Maharaja mengundangnya untuk menghadiri pertunjukkan musik, nyanyi dan tari yang dibawakan oleh seorang gadis penyanyi. Tetapi beliau menjawab ajakan tersebut dengan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang sanyasi, seorang sanyasi tak diijinkan menikmati kesenangan duniawi. Gadis penyanyi dan penari itu merasa amat terluka ketika mendengar ucapan Vivekananda, lalu menyanyikan lagu sedih berikut:
"Wahai penguasa, janganlah memandang dosa-dosaku Bukankah itu merupakan pandangan yang sama terhadap nama-Mu? Sekeping besi ada dalam pretima di pura Dan sekeping lain berupa pisau di tangan penjagal Namun keduanya berubah jadi emas Bila tersentuh batu filsuf Karena itu, wahai Tuhan, janganlah memandang sifat-sifat jahatku..."

Lagu ini sampai ke telinga Swami yang membuat hatinya tergerak. Gadis penari itu yang oleh masyarakatnya dianggap tidak suci, telah memberikan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa Brahman, yang senantiasa murni, senantiasa bebas, senantiasa cemerlang, adalah esensi dari segala mahluk. Swami segera menyadari kesalahannya dan keluar dari kamarnya dan bergabung dalam pesta itu. Selanjutnya Swami berkata:
Kejadian itu telah membuka mataku. Melihat bahwa semua mahluk sesungguhnya adalah manifestasi Tuhan, maka aku tidak lagi dapat memandang rendah siapapun.

Seorang pertapa tinggal diasramnya dan di seberang jalan tepat berhadapan dengan asramnya ada rumah bordil dimana tinggal seorang pelacur. Setiap hari ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat para lelaki datang dan pergi dari dan ke rumah pelacur itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari pelacur itu. Setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana).
Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. "Tapi" dia mengeluh, "nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur, dan putriku nanti juga akan menjadi pelacur. Demikianlah hukum negeri ini." Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya. "Tapi", dia memrotes, "hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi." "Ya," kata Yama, " tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwanya dikotori oleh bayangan penuh nafsu."
Pelacur itu dipuji karena kebajikannya. "Saya tidak mengerti," katanya, "selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas."
Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir disana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senatiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.
Dua kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri. Chin-Ning Chu memberi nasehat : "Kebajikan", katanya "bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang engkau berikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!"

Tidak ada komentar: